Mengonsumsi makanan lezat merupakan salah satu pelarian paling mudah yang kerap dilakukan banyak orang ketika ada kejadian menyebalkan yang menimpa dirinya. Biasanya, pilihan makanan yang dikonsumsi jatuh pada makanan renyah yang garing dan gurih.
Saat mendapatkan masalah di kantor misalnya. Anda tentu tak bisa langsung memarahi balik orang yang membuat Anda jengkel. Ketimbang meresponsnya, Anda lebih memilih pergi ke minimarket untuk membeli camilan atau makanan renyah untuk mengembalikan mood.
Tapi, pernahkah Anda berpikir, mengapa justru makanan renyah yang Anda ambil dan bukannnya makanan lain, seperti roti atau sebotol susu?
Makanan renyah, rasa lapar dan kondisi emosi
Ternyata, dilansir dari WebMD, pilihan makanan dan kegemaran Anda dalam mengonsumsi makanan renyah berkaitan dengan kondisi kesehatan mental Anda yang sesungguhnya.
Menurut Linda Spangle, RN, MA, seorang spesialis penurunan berat badan dan penulis Life is Hard, Food is Easy: The 5-Step Plan to Overcome Emotional Eating and Lose Weight on Any Diet yang dilansir dari Web MD, makanan renyah berkaitan dengan sisi emosional.
Selain karena lapar, orang-orang memang bisa menyantap banyak makanan, terutama makanan bertekstur renyah, hanya karena merasa stres, bosan, dan depresi pada periode waktu tertentu.
Hal itupun dibenarkan oleh dr. Nitish Basant Adnani BMedSc MSc. Menurutnya, suasana hati, seperti bosan, sedih, dan marah memang bisa mengubah pola makan seseorang, dalam hal ini meningkatkan frekuensi, porsi, dan menentukan jenis makanannya.
Kalau sudah begitu, bukan tak mungkin orang yang kondisi emosinya sedang tidak baik pun mengalami kegemukan atau obesitas. Sementara itu, dikutip dari WebMD, pilihan makanan cenderung berkolerasi dengan jenis emosi yang dialami.
Dengan kata lain, jenis makanan yang Anda idam-idamkan mencerminkan kondisi emosi Anda yang sebenarnya. Jika yang Anda idam-idamkan adalah makanan yang bertekstur renyah, artinya Anda sedang merasa lapar karena emosi. Kondisi ini disebut lapar kepala atau juga biasa disebut lapar palsu. Sebab, dorongan nafsu makan terhadap kedua jenis makanan tersebut berasal dari stres, kemarahan, frustasi, dan kepanikan.
Lapar palsu dan penyebabnya
Tak cuma disebabkan oleh kondisi emosional yang sedang buruk, dr. Nitish juga mengatakan bahwa ada hal lain yang dapat memicu terjadinya lapar palsu, yaitu kurang tidur, kekurangan mikronutrien, dan kurang serat.
Saat Anda kurang tidur, kadar hormon leptin, yakni hormon yang menandakan rasa kenyang akan menurun. Sedangkan, kadar hormon ghrelin sebagai penanda rasa lapar meningkat. Sehingga, usai begadang, biasanya orang cenderung mencari makanan dalam jumlah banyak yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
Orang yang kekurangan salah satu mikronutrien, misalnya magnesium, juga dapat merasa lapar terus-menerus. Hal ini turut dijelaskan oleh dr. Nitish.
“Ketika asupan serat juga juga belum terpenuhi, pada akhirnya hal tersebutlah yang akan membuat Anda mengalami lapar palsu,” tambahnya.
Kesimpulannya, benar bahwa gemar makan makanan renyah berkaitan dengan kesehatan mental atau emosi seseorang. Tak heran, konsumsi makanan renyah secara berlebihan menandakan lapar palsu yang disebabkan oleh kebosanan, stres, marah, sedih, atau bahkan depresi.
Jika Anda pernah mengalaminya, sebaiknya sadarilah segera bahwa kebiasaan tersebut sangat tidak baik. Abaikan rasa lapar palsu dengan kegiatan lain dan hindari menyetok sejumlah camilan asin nan renyah supaya Anda tak mudah mengakses makanan tidak sehat tersebut.
Terakhir, ketimbang Anda terus berlari dari masalah yang membuat kesal dan kalap mengonsumsi makanan renyah, sebaiknya segera selesaikan masalah yang ada. Dengan demikian kesehatan Anda tidak semakin buruk.
No comments:
Post a Comment